Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan Fenomenologi.
Metodologi Ilmu Budaya Senin 07.00
Oleh Alwi Abdullah (18017059)
1.Pengertian.
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phaenesthai, berarti menunjukkan dirinya sendiri, menampilkan. Fenomenologi juga berasal dari bahasa Yunani, pahainomenon, yang secara harfiah berarti “gejala” atau apa yang telah menampakkan diri” sehingga nyata bagi si pengamat.
-Menurut Bertens (1987:3)Fenomenologi, sesuai dengan namanya, adalah ilmu (logos) mengenai sesuatu yang tampak (phenomenon). Dengan demikan, setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakan dari apa saja merupakan fenomenologi .
- Menurut Bagus (2002:234)Dalam hal ini, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia .
- Menurut Littlejohn (2003:184) Fenomenologai adalah studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesaradan, atau cara memahami suatu objek atau peristiwsa dengan mengalaminya secara sadar .
- Namun, bagi Brouwer (1984:3), fenomenologi itu bukan ilmu, tetapi suatu metode pemikiran (a way of looking at things). Dalam fenomenologi tidak ada teori, tidak ada hipotesis, tidak ada sistem.
Penggagas utama dari pendekatan ini adalah Edmund Husserl. Beliau menginginkan pendekatan fenomenologi ini akan melahirkan ilmu yang lebih bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia, setetelah sekian lama ilmu pengetahuan mengalami krisis dan salah digunakan. Fenomenologi, kemudian, berkembang sebagai semacam metode riset yang diterapkan dalam berbagai ilmu sosial, termasuk di dalamnya komunikasi, sebagai salah satu varian dalam penelitian kualitatif dalam payung paradigma interpretif.
Brouwer (1984:3), seorang fenomenolog senang melihat gejala (fenomena). Melihat gejala merupakan dasar dan syarat mutlak untuk semua aktivitas ilmiah. Ia bukan ilmu, tetapi merupakan cara pandang, metode pemikiran,a way of look-ing at things. Untuk meyakinkan orang atas suatu fenomena, seorang fenomenolog akan mengajak orang untuk menyaksikan langsung fenomena yang bersangkutan, atau menujukkannya melalui bahasa. Untuk memahami suatu gejala, maka tak ada jalan lain, kita harus sabar menyaksikannya, mendengarkannya, menyelami bahasa yang diungkapkannya. Bagi Brouwer, fenomenologi tidak bisa hilang dan menjadi syarat mutlak bagi seseorang yang mau memikirkan dasar dari usaha ilmiah atau dasar dari hidupnya sendiri. Lebih jauh, fenomenologi mengajarkan kita untuk membiasakan diri, tidak lagi melihat benda-benda, melainkan melihat fenomena.
2.Untuk memahami fenomenologi, terdapat beberapa konsep dasar yang perlu dipahami, antara lain konsep fenomena, epoche, intensionalitas, konstitusi, kesadaran, dan reduksi.
A.Fenomena.
Fenomena adalah suatu tampilan objek, peristiwa, dalam persepsi. Sesuatu yang tampil dalam kesadaran. Bisa berupa hasil rekaan atau kenyataan. Menurut Moustakas (1994:26), fenomena adalah apa saja yang muncul dalam kesadaran. Fenomena, dalam konsepsi Huesserl, adalah realitas yang tampak, tanpa selubung atau tirai antara manusia dengan realitas itu. Fenomena adalah realitas yang menampakkan dirinya sendiri kepada manusia. Sementara itu, dalam mengahadapi fenomena itu manusia melibatkan kesadarannya, dan kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu (realitas) (Bertens, 1981:201).
Fenomena, menurut Brouwer (1984), bukanlah suatu benda, bukan suatu objek di luar diri kita, dan lepas dari kita sendiri. Ia adalah suatu aktivitas. Bila saya melihat sebuah rumah, maka terdapat aktivitas akomodasi, konvergensi, dan cerapan dari mata saya, sehingga rumah itu tampak terlihat, sehingga ia muncul sebagai fenomena. Secara sederhana, maka terjadi dialektis antara subjek dan objek. Tak mungkin ada yang dilihat jika tidak ada yang melihat. Lebih lanjut, setiap fenomena merepresentasikan titik permulaan yang pas bagi suatau investigasi (Moustakas, 1994:26). Fenomena menjadi sesuatu yang menjadi objek yang dikaji dalam studi fenomenologi.
B.Epoche.
Epoche merupakan konsep yang dikembangkan oleh Husserl, yang terkait dengan upaya mengurangi atau menunda penilaian (bracketing) untuk memunculkan pengetahuan di atas setiap keraguan yang mungkin. Sejalan dengan Descartes dan Kant, Husserl berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari intuisi, dan esensi mendahului pengetahuan empiris.
Dalam epoche, menurut Moustakas (1994:33), pemahaman, penilaian, dan pengetahuan sehari-hari dikesampingkan dahulu, dan fenomena dimunculkan dan direvisi secara segar, apa adanya, dalam pengertian yang terbuka, dari tempat yang menguntungkan dari ego murni atau ego transendental.
C.Intensionalitas
Menurut Husserl, kesadaran bersifat intensionalitas, dan intensionalitas merupakan struktur hakiki kesadaran manusia. Oleh karena itu, fenomena harus dipahami sebagai hal yang menampakkan dirinya (Bertens, 1981:201). Dalam fenomenologi, intensionalitas mengacu pada keyakinan bahwa semua tindakan (aktus) kesadaran memiliki kualitas; atau seluruh kesadaran akan objek-objek. Tindakan kesadaran disebut tindakan intensional dan objeknya disebut objek intensional (Bagus, 2002:261-362).
Menurut konsep ini, manusia menampakkan dirinya sebagai yang transenden, sintesis dari subjek dan objek. Manusia mengada dalam alam, menjadi satu dalam alam. Oleh karena itu, kata Brouwer (1984:6), tidak ada bedanya antara saya-mengalami-alam dengan alam-yang saya-alami. Intensi sendiri berarti orientasi pikiran pada suatu objek. Intensionalitas berkaitan dengan kesadaran, pengalaman internal mengenai kesadaran akan sesuatu.
D.Konstitusi
Konstiusi adalah proses tampaknya fenomena ke dalam kesadaran (Bertens, 1981:202). Ia merupakan aktivitas kesadaran, sehingga realitas itu tampak. Dunia nyata itu dikonstitusi oleh kesadaran. Kenyataan real bukan berarti ada karena diciptakan oleh kesadaran, tetapi kehadiran aktivitas kesadaran ini diperlukan agar penampakan fenomena itu dapat berlangsung. Bertens (1981:202) menegaskan: Tidak ada kebenaran-pada-dirinya, lepas dari kesadaran.
Dan karena yang disebut “realitas” itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas itu harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi itu berlangsung dalam proses penampakan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional. Dengan kata lain, konstitusi itu semacam proses konstruksi dalam kesadaran manusia. Ketika kita melihat satu bentuk benda, yang tampak pada indra kita selalu hanya sebagian. Ia tampak dari mana kita melihat.
E.Kesadaran.
Kesadaran adalah kemampuan untuk memperlakukan subjek untuk menjadi objek bagi dirinya sendiri, atau menjadi objektif tentang dirinya sendiri (Bagus, 2002:232). Saya menjumpai hakikat kesadaran, bila saya menemukan kembali kehadiran saya pada diri saya sendiri, kenyataan kesadaran yang akhirnya mau ditunjukkan oleh kata dan pengertian “kesadaran” (Bertens, 1987:45). Dunia adalah apa yang kita persepsi akan sesuatu.
Dalam hal ini, Merleau-Ponty menekankan bahwa kesadaran tidak berfungsi di atas, melainkan di dalam dunia yang dimengertinya, dalam arti prareflektif dan praobyektif (Bertens, 1987:48). Kesadaran, tak lain, adalah keterbukaan dan kelangsungan hubungan dengan yang lain, di mana dirinya dengan yang lainnya tidak memiliki pemisahan yang tegas.
F.Reduksi.
Reduksi merupakan kelanjutan dari epoche. Bagi Husserl, manusia memiliki sikap alamiah yang mengandaikan bahwa dunia ini sungguh ada sebagaimana diamati dan dijumpai. Namun, untuk memulai upaya fenomenoloogis, kita harus menangguhkan kepercayaan ini. Inilah yang dimaksud dengan reduksi fenomenologis, atau disebut pula reduksi transendental, atau epoche itu sendiri. Melalui reduksi ini, kita melakukan semacam netralisasi, bahwa ada tidaknya dunia bukanlah hal yang relevan (Bertens, 1981:103). Reduksi dilukiskan sebagai gerak kembali kepada suatu kesadaran transendental.
Reduksi fenomenologis. Kita harus memilah pengalaman-pengalaman kita untuk mendapatkan fenomena dalam wujud semurni-murninya. Segala sesuatu tampak pada kita Fenomena yang menyodorkan diri sebagai hal yang nyata ada itu tidak boleh kita terima begitu saja... Keputusan itu harus ditangguhkan. .. Setelah itu kita harus memandang atau menilik apa yang kita alami di dalam kesadaran kita. Apa yang kita tunda itu adalah berbagai pandangan kita yang sudah kita miliki sebelum kita menyelidiki apa yang tampak itu (Bagus, 2002:940-941). Reduksi-fenomenologis-transendental. Dalam istilah ini, digunakan kata transendental karena hal itu berlangsung di luar keseharian menuju ego-murni di mana segala sesuatu dipahami secara segar, seolah-oleh untuk pertama kalinya. Reduksi ini juga disebut fenomenologis karena hal ini mentransformasikan dunia ke dalam suatu fenomena. Disebut reduksi, karena hal ini mengarahkan kita ke belakang pada sumber makna dan eksistensi dunia yang dialami (Schmitt, 1967, dalam Moustakas, 1994:34).
Daftar Pustaka.
Bertens, K. 1981. Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: Gramedia.
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.s
Littlejohn, S.W. and K.A. Foss. 2005. Theories of Human Communication. 8th edition. Belmont, USA: Thomson Learning Academic Resource Center.
Brouwer, M.A.W. 1984. Psikologi Fenomenologis. Jakarta: Gramedia.
Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Re- search Methods. New Delhi: Sage Publica- tions.
Hasbiansyah. 2005. Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi. MEDIATOR, Vol. 9 No.1 Juni 2008
Komentar
Posting Komentar